MENANG MELUKAI, KALAH MEMATAHKAN

35 | MENANG MELUKAI, KALAH MEMATAHKAN

Penulis : Khusna Ummu Hubbi

TANBIH

┏━━━━♡♡♡※❥❀❥※♡♡♡━━━━┓
TANBIH
┗━━━━♡♡♡※❥❀❥※♡♡♡━━━━┛
Home of Character Education
الأم مدرسة الأولى
Al-Ummu Madrasatul Ula

MENANG MELUKAI, KALAH MEMATAHKAN

MENANG MELUKAI, KALAH MEMATAHKAN

Dunia anak penuh keindahan warna. Dengan senyuman polos, mereka genggam crayon, tanah liat, air, pasir, daun kering, batu kerikil disertai imajinasi fitrah estetika yang Allah karuniakan di dalam jiwanya.

Namun tiba-tiba… dunia dewasa memanggil mereka ke panggung:
“Ayo, buktikan siapa yang paling hebat.”
Di usia ketika hati mereka masih bening, diperkenalkan konsep yang bahkan orang dewasapun sering patah di dalamnya: menang dan kalah.

Dan sejak saat itu,
fitrah anak-anak mulai retak…

Anak yang menang, tidak selalu pulang dengan perasaan bahagia yang sesungguhnya,
Meskipun di mata orang dewasa, dia tampak bangga memegang piala.
Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada bisikan baru yang tumbuh:
“Aku dicintai kalau aku menang.”
“Aku berharga kalau aku jadi juara.”

Dia belajar bahwa validasi datang dari luar, bukan dari dalam.
Bahwa cinta itu bersyarat,
bahwa penerimaan harus dibuktikan.
Ini bukan kemenangan.
Ini penjinakan lembut yang melukai jiwa…

Anak yang kalah, pulang membawa luka yang tak bisa ia jelaskan…
Ia sudah merasa karyanya indah,
ia telah berlatih dan berusaha keras..
Ia sudah yakin hasilnya adalah yang terbaik.
Ia bangga dengan karyanya, sampai dunia dewasa berkata:
“Tidak, itu belum cukup untuk menang.”

Dan sejak itu…
Ia belajar membandingkan diri,
ia mengira dirinya kurang,
ia takut mencoba lagi,
ia mulai memandang temannya sebagai saingan, bukan saudara.

Ada anak menangis kecewa karena kalah di lomba mewarnai, menghafal atau berbagai lomba lainnya.
Bukan karena ia gagal,
tapi karena ia merasa keindahan, karya dan kemampuan dirinya tidak diakui. Itu luka di tempat yang paling halus…

Padahal fitrah anak tidak membutuhkan panggung; ia hanya butuh ruang untuk bertumbuh.
Sebelum fitrah iman anak tumbuh kuat, sebelum egosentrisnya tuntas,
mereka sedang membangun fondasi: percaya diri, rasa aman, harga diri, kepekaan emosi, dan kecintaan kepada proses.

Kompetisi memindahkan fokus itu menjadi:
siapa yang lebih hebat,
siapa yang lebih cepat,
siapa yang lebih diterima,
siapa yang lebih dibanggakan,
siapa yang lebih diakui,
siapa yang lebih dihargai,
siapa yang lebih dipuji,

Fitrah pun tersudutkan.
Usia anak-anak bukan arena pembuktian.
Usia anak-anak adalah taman pertumbuhan…

Kompetisi lahir dari ambisi orang dewasa, bukan kebutuhan diri anak.
Piala dipajang di lemari guru.
Foto juara dipasang di poster sekolah.
Orangtua bangga mengunggah sertifikat.

Tapi siapa yang memungut serpihan fitrah anak generasi yang retak dan pecah pelan-pelan, yang terbawa hingga kelak mereka dewasa?

Apa gunanya sebuah kemenangan,
jika harganya adalah hati anak yang belum siap diperlombakan?

Mari kita kembalikan hati anak-anak ke tempat asalnya: ruang aman tanpa perbandingan.

Biarkan mereka bermain.
Biarkan mereka menggores garis yang miring, warna yang keluar batas, membentuk yang tak sempurna, menghafal semampunya, dan imajinasi yang tak realistis.

Biarkan mereka bangga dengan potensi dan karya mereka, tanpa juri, tanpa ranking, tanpa standar orang dewasa.

Sebab yang kita jaga bukanlah piala, tapi hati kecil yang sedang berlatih mencintai dirinya sendiri.

Menang bisa melukai, kalah bisa mematahkan, jika fase pertumbuhan anak kita biarkan belajar kompetisi sebelum mereka memahami makna diri, dan sebelum fitrah iman itu tumbuh indah.

Mereka bukan bibit untuk lomba.
Mereka adalah amanah yang harus dijaga fitrahnya.
Dan fitrah tidak bisa dipaksa tumbuh dengan ketakutan, perbandingan, dan ambisi orang dewasa.

Syariat mewasiatkan agar hati anak dijaga sebelum apa pun. Allah melarang merendahkan, sebab bisa jadi anak yang tampak biasa hari ini, sedang Allah jaga untuk menjadi luar biasa di kelak kemudian hari. ¹
Allah memerintahkan kita menuntun mereka menuju kebaikan, bukan menjerumuskan mereka ke persaingan yang menanam bibit ujub, kecurangan, obsesi, iri, benci dan luka.²

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengingatkan, agar seorang muslim tidak menyakiti dan tidak mempersulit, tapi diperintahkan memberi kabar gembira.³—apalagi kepada hati anak yang masih jernih dan lemah.

Maka bagaimana mungkin sebuah juara dan kemenangan dianggap sebuah keberhasilan pendidikan, bila itu hanya berdampak melukai fitrah hati anak baik ia menang atau kalah?
Syari’at mengingatkan dengan tajam:
Perlombaan yang melukai fitrah anak, bukanlah motivasi, tetapi kelalaian akibat ambisi.

Islam memerintahkan kita “fastabiqul khairat”—berlomba-lomba dalam kebaikan—bukan berlomba meninggikan diri dengan menjatuhkan yang lain. Kebaikan tidak menuntut korban, tidak menumbuhkan iri, dan tidak mematahkan hati anak yang baru belajar percaya diri.

Maka ketika sebuah kemenangan justru melukai jiwa kecil yang belum siap ditakar, dan kekalahan membuatnya merasa kurang di mata manusia, pada saat itu kita harus jujur: ini bukan lagi perlombaan dalam kebaikan, tetapi persaingan yang kehilangan ruhnya. Karena dalam ajaran Allah, berlomba itu untuk memperbesar rahmat, bukan mempersempit jiwa; untuk menguatkan, bukan meruntuhkan. Dan apa pun yang melukai anak—takkan pernah layak disebut “kebaikan”.

Catatan kaki:

1). Allah Ta’ala berfirman:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰٓى اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا خَيۡرًا مِّنۡهُمۡ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok),… ( Al Hujarat ayat 11).
* Relevansi:
Menang yang melukai= merendahkan.
Kalah yang mematahkan = mempermalukan.
Ayat ini menggambarkan betapa kompetisi bisa berubah buruk, ketika menjatuhkan martabat anak.

2). Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
– Relevansi:
Kompetisi yang melukai jiwa dapat berubah menjadi permusuhan: ujub, sombong, iri, dengki, benci dan bullying.

3). Rasullulah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا “
Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari: 69 dan Muslim: 1732).
– Relevansi:
Kalah hingga mematahkan semangat, membunuh karakter dan potensi, melukai fitrah, bertentangan dengan perintah Nabi untuk menggembirakan hati, dan tidak membuat anak lari (trauma/benci/putus asa)

Khusna Ummu Hubbi

𝐇𝐂𝐄 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚
𝗛𝗼𝗺𝗲 𝗼𝗳 𝗖𝗵𝗮𝗿𝗮𝗰𝘁𝗲𝗿 𝗘𝗱𝘂𝗰𝗮𝘁𝗶𝗼𝗻

SETIAP ANAK HEBAT
Bahagia Beriman, Berilmu, Beramal
┈•┈• 🍀🪷🪷🪷🍀•┈•┈

SETIAP ANAK HEBAT
Bahagia Beriman, Berilmu, Beramal
┈•┈• 🍀🪷🪷🪷🍀•┈•┈

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *